Tahun 2009 kini sedang kita jalani, bulan Ramadhan yang suci akan tiba, dan tahun 2010 sebentar lagi akan menyongsong dengan hal-hal yang baru pula. Di dalam rentang waktu 365 hari, banyak hal yang kita alami dan sekaligus bis ditarik hikmahnya---secara individu, sudah barang tentu, pengalaman pahit dan manis menyatu dengan kental dan berkelindan dalam hidup dan kehidupan setiap anak manusia. Mulai dari diri, keluarga, masyarakat dan akhirnya bangsa ini.
Jika kita mau sejenak merenung, maka, dapat ditarik suatu benang merah betapa bangsa dan masyarakat ini tengah dilanda krisis nilai. Betapa tidak, bangsa yang semula amat religius kini mulai tercerabut dari akar budayanya.
Hal itu wajar, pemikiran BUMANTARA atau Bumi Antara yang pernah dicetuskan oleh salah seorang pemikir modern Indonesia, Sutan Takdir Alisyahbana, yang belakangan ini dikenal sebagai era kesejagatan atau globalisasi, kini sedang kita tapaki---akibatnya, bangsa yang tengah berkutat mengatasi beberapa bencana alam yang teramat dasyat menjadi gamang!
Akibatnya, cara mensikapi berbagai peristiwa yang menimpa pun jadi beragam, ada yang menyatakan hal itu merupakan “sentilan dari Yang Maha Kuasa”, beberapa lagi menyatakan hal itu akibat kemerosotan moral. Tetapi, seiring dengan gerak hidup dan kehidupan Dualisme, maka, tubuh dan jiwa sama pentingnya! Tepatnya, jiwa adalah substansi dari yang berfikir, sedangkan badan adalah substansi dari yang berkeluasan. Hubungan jiwa dan badan bukanlah sesuatu yang ditambahkan, melainkan sesuatu yang hakiki sehingga tanpa salah satu unsur itu bukan merupakan insan. Jiwa dan tubuh merupakan substansi yang tersendiri dan lengkap sebagai insan.
Kini semuanya semakin jelas, kegamangan, sifat tidak sabaran, saling menyalahkan dan bahkan lebih mendahulukan emosi ketimbang pertimbangan rasa adalah merupakan cerminan dari jiwa-jiwa yang mulai menderita akibat kekeringan yang berkepanjangan. Nah… kini semuanya terpulang kepada kita, bagaimana masing-masing pribadi akan menyikapinya?
Jika kita mau sejenak merenung, maka, dapat ditarik suatu benang merah betapa bangsa dan masyarakat ini tengah dilanda krisis nilai. Betapa tidak, bangsa yang semula amat religius kini mulai tercerabut dari akar budayanya.
Hal itu wajar, pemikiran BUMANTARA atau Bumi Antara yang pernah dicetuskan oleh salah seorang pemikir modern Indonesia, Sutan Takdir Alisyahbana, yang belakangan ini dikenal sebagai era kesejagatan atau globalisasi, kini sedang kita tapaki---akibatnya, bangsa yang tengah berkutat mengatasi beberapa bencana alam yang teramat dasyat menjadi gamang!
Akibatnya, cara mensikapi berbagai peristiwa yang menimpa pun jadi beragam, ada yang menyatakan hal itu merupakan “sentilan dari Yang Maha Kuasa”, beberapa lagi menyatakan hal itu akibat kemerosotan moral. Tetapi, seiring dengan gerak hidup dan kehidupan Dualisme, maka, tubuh dan jiwa sama pentingnya! Tepatnya, jiwa adalah substansi dari yang berfikir, sedangkan badan adalah substansi dari yang berkeluasan. Hubungan jiwa dan badan bukanlah sesuatu yang ditambahkan, melainkan sesuatu yang hakiki sehingga tanpa salah satu unsur itu bukan merupakan insan. Jiwa dan tubuh merupakan substansi yang tersendiri dan lengkap sebagai insan.
Kini semuanya semakin jelas, kegamangan, sifat tidak sabaran, saling menyalahkan dan bahkan lebih mendahulukan emosi ketimbang pertimbangan rasa adalah merupakan cerminan dari jiwa-jiwa yang mulai menderita akibat kekeringan yang berkepanjangan. Nah… kini semuanya terpulang kepada kita, bagaimana masing-masing pribadi akan menyikapinya?
No comments:
Post a Comment